Post Top Ad

Post Top Ad

Friday, October 16, 2015

October 16, 2015

Qiyas Kedudukan Sebagai Sumber Hukum Islam

Qiyas Dan Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam


A.Pengertian Qiyas
Qiyas secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian menyamakan antara kedua nya. Menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah mempersamakan suatu hokum, suatu peristiwa yang tidak ada nash nya dengan hukum sesuatu peristiwa yang sudah ada nash nya lantaran ada persamaan illat hukum nya dari kedua peristiwa.

Pengertian qiyas menurut Imam Syafi’I akan di ketahui apabila di telusuri beberapa keterangan nya di tempat terpisah yang menyangkut al qiyas, antara lain :

وَاْ لقِياَسُ مِنْ وَ جْهَيْنِ اَ حَدُ هُمَاَانْ يَكُوْنَ الشَّىْ ءُ ص مَعْزَ اْلاَ صْلِ فَلاَ حينتَلفِ فِيْهِ واَ نْ يَكُوْ نَ ا لشَّىْ اْلاَ صْدِ اَ شْباَ هٌ فَزَ لِكَ يَلْحَقُ بِاُ وْ لاَ هاَ شِبْهًا نِيْهِ وَ قَدْ يخَْتَلِفُ القـاَيِسُوْ نَ فىِ مَذَا

 “Al-Qiyas dapat ditinjau dari dua segi. Pertama bahwa suatu peristiwa buru (fara’) sama betul dengan makna asli, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua, bahwa suatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku qiyas”

َاْلقِياَ سُ ماَ طَلََبَ الرَّ لاَ ئِلُ عَلرَ مُوَا فِقِهْ ا خَبَرُ اْلمتُقًدِّ مُ مِنَ اْ كِتاَ بِ وَا لُّسنَّهِ لأَِ نهَّمُاَ عِلْمُ أْ حَـقِ اْ لمُفْتَرِضِ طَلَبُهُ
Al-Qiyas itu adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari suatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik AL-Qur’an maupun AL-sunnah karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib di cari.

Pengertian qiyas menurut imam syafi’I banyak mendapat dukungan dari ulama ushul fiqh, di antara nya :
1.      Al-Qadii, Abu Bakaral-Baqillni mendefinisikan Al-Qiyas sebagai berikut:
حَمَلَ مَعَلُوْ مُ عَلىَ مَعَلُوْمٍ فىِ تِ حُلَْمٍ لَهُماَ اَ وْ نَفْيٍ عَنْهُماَ بِاَ مْرٍ جاَبَيْنَهُماَ
 “ Memasukkan suatu yang dimaklumi (Far’) ke dalam hukum sesuatu yang dimaklumi (asl) karena adanya ‘illah hukum yang mempersamakannya menurut pandangan mujtahid”.
2.      Sadr Al-Syari’ah Ibn Mas’ud mendefinisikannya:
تَعْدِ يَهُ اْ حُكْمِ مِنَ اْلاَصْلِ اِ لىَ اْ لغَرَ عْ بِعِلَةٍ مُحَّتِدَ ةٍلاَ تَعْرِ فُ بُجَرَّ رٍ فَهُمُ اللَّغَةُ
 “ Mengenakan hukum pada asl kepada Far’ karena adanya ‘illah yang mempersekutukannya yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan literal semata”.

B.Kedudukan Sebagai Dalil Hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah hujjah syari’yyah terhadap hukum-hukum syara’, tentang tindakan manusia, Al Qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syari’yyah, jika tidak di jumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Disamping itu, harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nash nya. Kemudian, di hukum seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut syara’. Ulama tersebut di kenal sebagai Mutsbitul Qiyas (orang yang menetapkan qiyas).

Berdasarkan pada dalil Al Qur’an As Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat. Ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil adalah Q.S  An Nisa : 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yng beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang ke suatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-sunnah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

C.Rukun Rukun Qiyas
Qiyas terdiri dari 4 rukun, yaitu :
1.      Al-Ashl, ialah sesuatu yang hukum nya terdapat dalam nash, biasa di sebut dengan magis ‘Alaih (yang di pakai sebagai ukuran) atau mahmul ‘Alaih (yang di pakai sebagai tanggungan), atau musyabbah Bih (yang di pakai sebagai penyerupaan)
2.      Al-Far’u, yaitu yang hukum nya tidak terdapat dalam nash, dan hukum nya di samakan kepada Al-Ashl.
3.      Hukmu’l-Ashl, ialah hukum syara’ yang terdapat nash nya menurut al ashl (asal), kemudian cabang (al far’u) di samakan kepada asal dalam hal hukum nya.
4.      Al-illat, ialah keadaan tertentu yang di pakai sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (al far’u) di samakan kepada asal dalam hal hukum nya.[1]


D.Syarat Syarat Qiyas
Telah di terangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syar sebagai berikut  :
1.      Ashal dan fara’
Telah di terangkan bahwa ashal fara’ berupa kejadian atau peristiwa yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah di terangkan hukum nya. Seadang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum di tetapkan hukum nya. Oleh sebab itu ashal disyarat kan berupa peristiwa atau kejadian yang telah di tetapkan hukum nya berdasar nash, sedang far’berupa peristiwa yang belum di tetapkan hukum nya karena tidak ada nash yang dapat di jadikan dasar nya. Hal ini berarti bahwa seandai nya terjadi qiyas, kemudian di kemukakan nash yang dapat di jadikan sebagai dasar nya, maka qiyas itu batal dan hukum fara’ dan hukum fara’ di tetapkan berdasar nash yang baru di temukan itu.
2.      Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang di perlukan bagi hukum ashal, yaitu :
·         Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah di tetapkan hukum nya berdasarkan nash.
·         Lihat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapi oleh akal.
·         Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
3.      ‘illat
‘illat, ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal. Serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum di tetapkan hukum nya. Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Ada lima syarat yang mensahkan illat menjadi dasar qiyas adalah sebagai berikut :
·         illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
·         Illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perbuatan individu,situasi,maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodisikan seluruh perubahan yang terjadi secara devinitive.
·         Harus ada korelasi (hubungan) yang sesuai antara hukum dengan sifat yang menjadi illat.
·         Sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada  suatu hukum tertentu.
·         Syarat terakhir bahwa sifat yang menjadi illat itu tidak di nyatatakan batal oleh suatu dalil.[2]



E.Contoh-Contoh Qiyas
1.       

ياَ يُهاَالَّذِ يْنَ اَمَنُوْااِنَ انُوْدِيَ لِلصَّلَوةِ مِنْ يَوْ مِ اْ لجُمْعَةِ فاَ سْعَوْاالىَ ذِ كِرْاللهِ وَ ذَ رُ وْ االَبيْعَ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menaikkan shalat pada hari Jum’at, Mala bersegeralah Kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli …” (Q.S. 62:9)

Illat pada ayat tersebut adalah melalaikan shalat. Tentang sewa menyewa atau pegadaian atau perbuatan apapun yang terdapat illat tersebut ketika ada adzan jum’at yakni kesibukan dengan jual beli, karena nya makruh melakukan apa saja di saat adzan panggilan shalat di kumandangkan.
2.      Lembar kertas telah di bubuhi tanda tangan, merupakan peristiwa yang terdapat dalam nash, yakni kertas tersebut sebagai hijjah terhadap pemberi tanda tangan yang di ambil dari nash perdata, karena illat membubuhkan tanda tangan merupakan bukti bagi pemberi tanda tangan. Kertas yang di bubuhi cap jari tangan, padanya terdapat illat.maka hal tersebut hukum nya di qiyaskan dengan kertas yang di bubuhi tanda tangan , di samping sebagai bukti bagi pemberi cap jari.
3.      Terjadinya pencurian yang dilakukan oleh keluarga, antara Bapak dan anak atau antara suami dan istri, pelakunya tidak boleh dihukum kecuali kalau ada tuntutan dari pihak tercuri (korban) yang didasarkan pada Undang-undang pidana.

KESIMPULAN
1.      Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau satu peristiwa yang tidak ada nasnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan iilat hukumnya dari kedua peristiwa.
2.      Al-ashl ialah suatu yang hukumnya terdapat dalam nash.
3.      Al-far’u ialah yang hukumnya tidak terdapat dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-ashal.
4.      Hukmu’ adalah hukum syara’ yang terdapat nashnya menurut Al-ashl, kemudian cabang (Al-far’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
5.      Al-illat ialah keadaan tertentu yang di pakai sebagai dasar bagi hukum asal, kemudian cabang (al-far’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
 6.      Syarat-syarat Qiyas:Ashal dan  fara’,hukum ashal,illat.
7.Contoh Qiyas: Minum khamar (arak) adalah kejadian yang telah di tetapkan dalam nash, yaitu hukumnya haram karna memabukkan. Kemudian para ulama mempersamakan hukum minum khamar dengan meminum wisky, brandy,sedangkan hukum minum wisky dan brandy tidak ada dalam nash,kemudian ulama mempersamakan hukum keduanya karena ada persamaan illat.

Sunday, March 15, 2015

March 15, 2015

Tauhidullah Sebagai Landasan Pandangan Dunia Islam


TAUHIDULLAH SEBAGAI LANDASAN
PANDANGAN DUNIA ISLAM


Definisi Tauhidullah
Perlu kita ketahui terlebih dahulu arti  tauhid itu sendiri adalah tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tawhidan, yang arti harfiyahnya menyatukan, meng-Esakan, atau mengakui bahwa sesuatu itu satu.Adapun yang dimaksud dengan makna harfiyah tersebut adalah meng-Esakan atau mengakui dan menyakini akan ke-Esaan Allah SWT. Lawan dari tauhid adalah syirik, yaitu menyekutukan atau membuat tandingan kepada Allah SWT. Dengan demikian tauhid adalah mengakui dan menyakini ke-Esaan Allah SWT, dengan membersihkan keyakinan dan pengakuan tersebut dari segala kemusyrikan. Maka bertauhid kepada Allah (tauhidullah) adalah hanya mengakui hukum Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak, dan hanya peraturan Allah SWT yang mengikat manusia secara mutlak.
Dengan demikian, tauhid adalah esensi aqidah dan iman dalam Islam. Tauhid merupakan landasan utama dan pertama keyakinan Islam dan implementasi ajaran-ajarannya. Tanpa tauhid tidak ada iman, tidak ada aqidah dan tidak ada Islam dalam arti yang sebenarnya.
Dalam pengucapan kalimat tauhid tersebut tidak sembarangan dalam pengucapannya, harus dengan syarat-syarat. Tanpa syarat-syarat tersebut maka kalimat tauhid yang diucapakan tidak akan berarti. Syarat-syarat tersebut adalah:
    Pertama Al-‘Ilm,lawan dari al-jahl (kebodohan). Artinya memahami makna dan maksud kalimat tauhid. Dalam firman Allah SWT:
Artinya: “akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)”. (Qs. Al-Zukhruf: 86).
    Kedua Al-Yaqin,lawan dari al-syak (keraguan). Seorang yang mengikrarkan tauhid harus meyakini kandungan kalimat tersebut.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (Qs. Al-Hujurot: 15).
      Ketiga Al-Qabul (menerima),lawan dari al-rodd (penolakan).Yaitu menerima kandungan konsekuensi dari syahadat tauhid yang diucapkan, hanya menyembah Allah SWT semata.
Artinya: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: "Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?". (Qs. Ash-Shoffat: 35-36).
Keempat Al-Inqiyad (patuh), lawan dari al-tark (meninggalkan). Merupakan tunduk dan patuh kepada makna dan kandungan la ilaha illa Allah, yang berarti memusat ketundukan dan kepatuhan hanya kepada Allah SWT.
Artinya: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”. (Qs. Luqman: 22).
Kelima Al-Ikhlas (bersih), lawan dari syirk dalam amal. Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirk, dengan jalan membersihkan niat semata lillah, bebas dari sum’ah dan riya’ atau sebab-sebab keduniaan lainnya. Rasulullah bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada neraka (untuk membakar) orang-orang yang mengucapkan “la ilaha illa Allah”, karena semata mengharap ridho Allah”. (HR. Bukhori-Muslim).
Keenam Al-Shidqu (jujur), lawan dari al-kidzbu (dusta). Yaitu orang yang mengucapkan kalimat tauhid dan hatinya membenarkannya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta agama.
Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit,lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. (Qs. Al-Baqoroh: 8-10)
Ketujuh Mahabbah (kecintaan), lawan dari baghdla’ (kebencian). Yaitu cinta kepada mengucapkan kalimat tersebut dan mencintai isi kandungannya, serta mencintai orang-orang yang mengamalkan dan konsekwensi terdapat kandungan kalimat tauhid.

Makna Tauhidullah Sebagai Landasan Pandangan Dunia Islam
Diantara syarat diterimanya amal adalah iman dan Islam, sedangkan pintu masuk Islam adalah syahadatain, dan syahadatain adalah tauhid itu sendiri sehingga dapat kita katakan bahwa tauhidullah itu amat penting bagi semua manusia. Jika tauhidullah menjadi pandangan hidup kaum muslimin, maka pada diri seorang muslim akan lahir sikap:
Pertama Ibarat seperti orang buta di dunia ini, ia tidak tahu mengapa ia diciptakan, atau apa hikmah diciptakannya di muka bumi ini. Dalam firman Allah SWT:     Artinya:“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”. (Qs. Al-Mulk: 22).
Kedua Menjadikan hati manusia bersatu karena iman, sehingga mereka saling mencintai karena Allah SWT. Dalam firmannya:
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Qs. Al-Hujuraat: 10).
Ketiga Jika semangat tauhidullah dan iman telah menyebar di masyarakat, maka pastilah akan membuahkan amal shalih yang diridhai Allah sehingga membuka berbagai pintu kebaikan dan mendatangkan pertolongan Allah. Begitulah dulu kaum muslimin, sebelumnya mereka adalah orang-orang lemah dan miskin, kemudian mereka beriman dan beramal shalih sehingga Allah membuka pintu-pintu keagungan dunia kepada mereka. Dan Allah cukupkan bagi mereka karunia-Nya.

Berangkat dari kesemuanya itu, maka seorang Muslim yang memiliki pandangan hidup Islam, dan yakin akan kehidupan akhirat, dia akan tenang setiap kali menerima ujian dari Allah SWT. Dia yakin, bahwa hidup didunia adalah sementara dan semuanya akan dipertagungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat nanti.
Seorang Muslim yang memiliki pandangan dunia Islam yang berlandaskanTauhid, maka dia akan yakin bahwa hanya Islamlah agama yang diterima Allah SWT. Maka dalam firmannya disebutkan:

Artinya: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan".  (Qs. Ali ‘Imron: 83).