Post Top Ad

Post Top Ad

Saturday, April 1, 2017

Ekonomi Islam Sebagai Counter Atas Ekonomi Konvensional

Ekonomi Islam Sebagai Counter Atas Ekonomi Konvensional

Islam sebagai satu-satunya yang Allah SWT ridhai dan pilih bagi umat manusia sejak Nabi Adam AS dan disempurnakan para kerasulan Muhammad SAW dimaksudkan untuk meregulasi kehidupan manusia agar selamat di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, Ekonomi Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.
Sesuai dengan fakta sejarah, kebenaran positivistik dan sekularistik yang ditawarkan oleh ilmu ekonomi konvensional ternyata banyak menimbulkan ketimpangan yang menyebabkan terjadi krisis kemanusiaan. Ilmu yang diakui sebagai bebas nilai value freeini berprentensi untuk melanggengkan ketidakadilan yang diciptakan oleh para pemilik modal.
Kebangkitan kembali ilmu Ekonomi Islam merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan terhadap ilmu ekonomi yang lebih humanis. Dengan memuat nilai-nilai ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis), ilmu Ekonomi Islam diyakini akan mampu menyejahterakan umat manusia dengan lebih baik. Kaum mustadl’afin yang selama ini termarjinalkan oleh ilmu ekonomi konvensional akan terangkat harkat dan derajatnya.
Namun demikian, perkembangan ilmu Ekonomi Islam sendiri dirasa belum seimbang. Di satu sisi, walaupun ditemukan beberapa penyimpangan dalam prakteknya perkembangan institusi Ekonomi Islam sangat pesat. Sedangkan di sisi lain, penggalian teori-teori Ekonomi Islam masih kurang dan membuat perkembangannya relatif lambat. Keadaan ini tentu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi eksistensi ilmu Ekonomi Islam saat ini dan perkembangan di masa mendatang.
Peluang dan tantangan ilmu Ekonomi Islam kaitannya sebagai counter terhadap ilmu ekonomi konvensional. Sekaligus memberikan sedikit strategi untuk menentukan langkah-langkah dalam pengembangan ilmu Ekonomi Islam.
Beberapa Peluang dan Tantangan
Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan ilmu Ekonomi Islam ternyata berasal dari dalam umat Islam sendiri. Tantangan itu adalah rasa “minder” atau rasa tidak percaya diri di hadapan Barat dalam hal ini ilmu ekonomi konvensional. Kurang kepercayaan diri ekonom muslim ini harus segera dihilangkan dengan penguasaan terhadap bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teori ekonomi konvensional. Setelah menguasai hal tersebut, maka rasa inferioritas umat Islam dapat diatasi dan pengembangan Ekonomi Islam akan menjadi tampil lebih elegan. Justru dari sini dapat dilihat, bahwa ilmu Ekonomi Islam bertujuan menumbangkan superioritas Barat dan memulihkan kepercayaan diri umat Islam.
Ilmu Ekonomi Islam dan ekonomi konvensional mempunyai perbedaan pada momen sejarah kelahiran dan perkembangannya. Ilmu ekonomi konvensional dengan paradigma positivisme dan sekularisme muncul di tengah ekspansi imperialisme Barat. Hingga akhirnya sekarang ilmu ini digunakan sebagai alat legitimasi untuk penjajajahan dan penindasan terselubung melalui apa yang sering disebut dengan globalisasi. Berdasarkan perbandingan umurnya, tak salah jika perkembangan ilmu Ekonomi Islam masih terlalu dini dan mencari-cari bentuk bakunya. Ini wajar karena memang umur ilmu Ekonomi Islam beberapa abad lebih muda dibandingkan ilmu ekonomi konvensional.
Sebenarnya ilmu ekonomi konvensional tidak mengambil posisi netral, tetapi lebih banyak didominasi paradigma yang merefleksikan struktur kesadaran barat yang terbentuk oleh peradaban modern. Sementara itu, ilmu Ekonomi Islam ternyata lebih dekat kepada posisi netral sebab tidak memburu kekuasaan dan menghendaki pemihakan kaum melalui kedermawanan dan kesetaraan.
Umat Islam yang secara mentah-mentah menerima ilmu ekonomi konvensional akan mengalami berbagai penyelewengan seperti distorsi ekonomi dari posisi realistisnya, tercerabut dari akar ekonominya, dan bergantung kepada perekonomian bangsa lain. Dengan memakai ilmu Ekonomi Islam, bahaya penyelewengan itu dapat disingkirkan. Ilmu yang relatif baru berkembang ini akan melindungi umat Islam dari keterasingan dan menempatkan perekonomiannya ke posisi yang lebih realistis.
Dengan berbasis bebas nilai atau value free, ternyata pengkaji dalam ilmu ekonomi konvensional harus menjaga jarak dari obyek yang ditelitinya. Sekilas ini merupakan syarat objektivitas dan netralitas yang digembar-gemborkan oleh para ekonom barat. Namun sesungguhnya hal ini hanya dimanfaatkan untuk menyembunyikan nafsu eksploitasi terhadap sumber daya yang ada. Sebaliknya dengan nilai-nilai Al-Qur’an, ekonom muslim dapat lebih dekat dan berpihak terhadap objek yang dikajinya. Ini membuat ilmu Ekonomi Islam lebih bersih dan seimbang.
Memang benar ilmu ekonomi Islam menyimpan potensi yang besar bagi kemakmuran manusia. Namun tidak menutup kemungkinan ekonom muslim lebih banyak melihat apa yang ada dalam dirinya daripada apa yang ada dalam kenyataan. Hal ini bisa saja menyebabkan mererka tergelincir ke dalam retorika atau fanatisme dan menyerang ilmu ekonomi konvensional secara membabi buta. Dalam keadaan seperti ini, ilmu Ekonomi Islam akan dimanfaatkan untuk melakukan “balas dendam intelektual”. Tetapi kesadaran dan orisinalitas ekonom muslim dapat mencegah dari ketergelinciran ke dalam bahaya di atas.
Dari ulasan di atas, ada setidaknya dua hal strategis yang dapat dilakukan guna menyusun langkah selanjutnya bagi pengembangan ilmu Ekonomi Islam di masa mendatang :
Pertama, revitalisasi tradisi lama yang meliputi Al-Qur'an dan Hadis beserta pemikiran ekonom muslim klasik. Al-Qur'an dan Hadis merupakan sumber utama yang tidak bisa diragukan lagi bagi ilmu Ekonomi Islam. Begitu juga, tak dapat dipungkiri bahwa jauh sebelum ada Adam Smith, Keynes, Friedman, dan ekonom barat lainnya, telah banyak pemikiran ilmu Ekonomi Islam yang dilahirkan oleh ulama klasik semacam Abu Ubaid, Abu Yusuf, Al-Ghazali. Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, dan sebagainya. Tradisi lama ini tidak boleh serta-merta ditinggalkan dalam pengembangan ilmu Ekonomi Islam.
Kedua, Pembaharuan dan pengembangan tradisi lama. Tradisi lama yang disebutkan sebelumnya tentunya mempunyai konteks yang berbeda dengan kenyataan yang kita alami saat ini. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian agar relevan dengan kondisi yang melingkupi kita di sini dan saat ini. Penyesuaian itu tentu dilakukan harus dalam kerangka maqasidus syari'ah.

No comments:

Post a Comment